Skip to content

PKBM GENERASI JUARA

Cerita Dibalik Perjuangan Menyelenggarakan Lembaga Pendidikan Non-Formal, PKBM Generasi Juara

    Kisah PKBM Generasi Juara bermula dari sebuah luka. Luka seorang ibu yang anandanya mengalami perundungan di sekolah formal, kecanduan game sehingga membuat ananda tidak berani berbicara. Pengalaman pahit mendorong ibu Ida, pendiri PKBM Generasi Juara, untuk berjuang menciptakan tempat belajar yang lebih inklusif dan penuh empati.

    Sistem pendidikan formal yang seharusnya menjadi tempat menumbuhkan potensi, justru menjadi sumber penderitaan. Kak Rayhan, salah satu ananda dari Ibu Ida, menerima perundungan dari sekolahnya sendiri karena belum bisa membaca. Akibatnya, setelah pulang sekolah, ketika ditanya tentang pelajaran ia selalu murung. Tidak hanya itu ketika kak Rayhan mengikuti lomba animasi, pihak sekolah tidak mendukung dan menjudge bahwa kak Rayhan yang tidak bisa matematika tidak akan mungkin bisa menang. 

    Berkat kegigihan Kak Rayhan, dan dukungan penuh dari ibu Ida, ia bisa menang dalam perlombaan. Perundungan juga didapatkan kak Rayhan ketika ia menjuarai lomba tingkat Nasional, piala diminta pihak sekolah yang tidak mendampingi saat perlombaan, dan biasanya saat upacara anak yang berprestasi di sebutkan, kak Rayhan ketika menang suatu perlombaan tidak pernah disebutkan.

    Setelah pindah sekolah kak Rayhan juga masih mengalami perundungan.  Kak Rehan dididik untuk tidak pernah membawa uang saku, ia selalu membawa bekal dari rumah, saat itu kak Rayhan dipalak oleh teman-temannya, ia juga disuruh untuk menonton video porno serta mendapatkan ancaman apabila tidak dilakukan maka punggungnya akan dipukul.

    Luka fisik mungkin bisa sembuh, tetapi luka batin akibat perundungan itu meninggalkan bekas yang mendalam. Kecemasan, rasa takut, dan hilangnya kepercayaan diri tampak jelas pada sang anak. Hingga ketika mereka melewati sekolah tersebut selalu meminta untuk putar balik. 

    Ibu ida sebagai orang tua juga selalu intropeksi diri terkait dengan cara mendidik dan mengasuh ananda. Sudah beberapa cara Ibu Ida mencari sekolah formal terbaik di Bandung namun semua sekolah mengharuskan membayar uang gedung dari kelas 1 sampai kelas 6 walaupun masuk di jenjang kelas 5 sampai 6. 

    Akhirnya bu Ida memutuskan Homeschooling untuk pendidikan anandanya karena ketika itu pak Rahmat harus sekolah S2 ke Taiwan. Pada saat itu, bu Ida memutuskan mencarikan PKBM untuk ananda, akan tetapi PKBM tersebut tidak pernah buka dan ternyata untuk mendapatkan ijazahnya mengharuskan bayar sejumlah uang yang cukup besar tanpa adanya proses belajar.

    Saat di Taiwan, bu Ida ikut membantu mengelola PKBM PPI Taiwan, beliau bersama bapak Rahmat turut mengurus dari menjadi tutor hingga dengan tata pengelolaan PKBM. Dari sini ibu Ida mengapresiasi para buruh-buruh TKI yang belajar di PKBM PPI Taiwan. Mereka sekolah untuk menambah pengetahuan mereka, bahkan ketika kelas ataupun ujian secara langsung mereka hadir walaupun sudah lelah bekerja.

    Berawal dari dorongan, saran dari teman dan juga pengalaman di PKBM PPI Taiwan, bu Ida mulai mendirikan PKBM, saat itu ia mulai dengan membuat komunitas yang bernama HSM Nusantara (HSMN) dan berubah nama menjadi homeschooling muslim indonesia (HSMI). 

    Saat mendirikan sebuah lembaga, tentu saja prosesnya yang tidak mudah. Saat melakukan pengurusan perijinan ke dinas untuk mendirikan sebuah lembaga, diharuskan memiliki tempat kesekretariatan. Saat itu untuk menyewa sebuah rumah untuk dijadikan kantor, harus mengeluarkan biaya sewa sekitar 7 juta, dan dibayar selama 4 kali. Saat lembaga berdiri, Bu Ida dan Pak Rahmat masih berada di Taiwan. 

    Proses PKBM Generasi Juara yang  hingga saat ini memiliki beberapa kantor pun awalnya harus berpindah-pindah tempat. Menariknya, ibu Ida dan pak Rahmat selalu melibatkan anandanya untuk membantu mengurus PKBM. Uniknya, keempat anaknya itu juga mereka sekolahkan di lembaga yang mereka kelola.  

    “Sekolah itu berawal dari pendiri, saya menyekolahkan anak-anak saya disini juga, saya ingin melihat program yang saya rencanakan itu sesuai dengan visi misi saya” ujar bu Ida. 

    Tidak banyak anak pemilik sekolahan yang menyekolahkan ananda mereka di sekolah yang mereka miliki sendiri. Ibu Ida berprinsip untuk memberikan yang terbaik bagi lembaga yang dikelolanya. Sama seperti semua orangtua pasti menginginkan yang terbaik untuk anandanya.

    Sebagai owner, tidak semerta-merta memberikan privilege kepada anandanya. Ibu Ida pernah tidak meluluskan anandanya karena  sering tidak masuk kelas dan tidak mengerjakan tugas ataupun ujian karena sibuk bekerja. Sampai ananda mengulang kelas dan harus bertanggung jawab menyelesaikan pendidikan yang ia jalani hingga selesai. 

    PKBM Generasi Juara menekankan pada penggalian minat dan bakat, berfokus pada pendidikan karakter, membangun kepercayaan diri ananda, dan membekali peserta didik dengan keterampilan hidup yang relevan hingga rasa tanggung jawab. Mereka tidak hanya diajarkan akademik seperti membaca, menulis, dan berhitung, tetapi juga diajarkan pentingnya rasa empati, keberanian, dan pentingnya adab. 

    Kini, PKBM Generasi Juara telah menjadi tempat belajar bagi banyak anak-anak yang membutuhkan. Mereka menemukan tempat untuk belajar dan berkembang, jauh dari bayang-bayang perundungan. 

    Kisah keberhasilan PKBM Generasi Juara menjadi bukti nyata bahwa pendidikan yang inklusif dan penuh empati mampu mengubah hidup anak-anak dan menciptakan harapan baru. Perjuangan sang ibu, yang bermula dari luka hati, telah menjelma menjadi cahaya harapan bagi banyak anak-anak Indonesia.

    Kirim
    Halo Kak! Ada yang bisa kami bantu?